Cerita Kerikil Amparan Gading, Bengkulu

 Biasanya kisah rakyat ini diceritakan oleh orang renta sebagai pengantar tidur anak Cerita Batu Amparan Gading,  Bengkulu
Batu Amparan Gading merupakan cerita rakyat Bengkulu kawasan selatan. Biasanya kisah rakyat ini diceritakan oleh orang renta sebagai pengantar tidur anak-anak. Alkisah pada zaman dahulu, hidup seorang raja muda bedan istrinya, berjulukan Putri Gani. Mereka hidup berbahagia di istana kerajaan bersama dua orang anak mereka, seorang anak pria dan seorang anak perempuan.

Hacukup laman istana kerajaan sangatlah luas, dihiasi oleh taman bunga tertata rapi. Di depan hacukup laman istana terdapat sebuah kerikil besar berwarna kuning gading yg datar permukaannya, berjulukan Batu Amparan Gading. Raja Muda biasa menghabiskan waktu santainya bersama keluarga dengan duduk-duduk diatas Batu Amparan Gading.

Sang Permaisuri Meninggal

Di suatu hari, Putri Gani mengalami sakit yg mengakibatkan ia meninggal dunia. Raja muda menjadi sangat murung terlebih kedua anaknya masih kecil. Keduanya masih membutuhkan belaian kasih sayg seorang ibu. Akhirnya sepeninggal Putri Gani, Raja Muda tetapkan untuk menikah kembali. Raja Muda menikahi seorang putri Raja Hulu Sungai.

Raja Muda Menikah Kembali

Pada awal pernikahan, istri gres Raja Muda sangat menyaygi suami dan kedua anak tirinya. Namun hal tersebut tak berlangsung cukup lama. Tingkah polah belum dewasa tirinya yg sangat aktif sering mem.buatnya kesal. Ia sering memarahi kedua anak tirinya bila Raja Muda sedang tidak berada di istana. Bahkan ia sering membiarkan kedua anak tirinya kelaparan. Sikapnya itu justru mem.buat kedua anak tirinya menjadi bertambah nakal.

Ibu Tiri Sering Berlsaya Kasar

Di suatu hari, kedua anak Raja Muda merasa lapar sebab belum diberi makan oleh ibu tirinya. Mereka berdua kemudian pergi ke hacukup laman istana untuk bermain-main di atas Batu Amparan Gading. Karena tak tahan menahan rasa lapar, si abang kemudian berkata kepada adiknya, “Dik, tunggulah disini sebentar, abang akan pergi sebentar mencari makanan.”

“Baiklah kak, Aku akan menunggu disini.” jawab adiknya.

Kakaknya kemudian pergi sambil membawa seruas bumbung. Ia berjalan sendirian hingga kesudahannya ia tiba di tempat orang menumbuk padi. “Ibu, bolehkah aku meminta sedikit serpihan beras untuk masakan ayam saya?” tanyanya pada ibu penumbuk padi.

“Ambillah nak.” kata si ibu penumbuk padi.

Si anak mengambil sedikit serpihan padi kemudian memasukkannya ke dalam bumbung yg ia bawa. Ia kembali berjalan untuk mencari mainan. Di dalam perjalanannya, ia bertemu seekor bengkarung. Ia menangkapnya untuk ia jadikan mainan. Ia juga melihat bunga dadap berguguran di tanah. Ia memungut bunga-bunga dadap untuk dijadikan mainan adiknya. Kemudian ia segera kembali ke tempat adiknya.

Di atas Batu Amparan Gading, ia lantas bermain bersama adik perempuannya. Sementara keduanya tengah asyik bermain, ibu tiri mereka pulang. Si ibu tiri melihat bekas permainan bedan remah-remah masakan awut-awutan di atas Batu Amparan Gading. Ibu tirinya menygka biji puar yg awut-awutan ialah nasi, bunga dadap merah disangkanya kulit udang, sedang sisik bengkarung disangkanya sisik ikan. Ia pribadi menuduh kedua anak tirinya mencuri masakan dari lemari makanan.

Ibu tirinya lantas memarahi dan memukuli mereka. Ia mencerca kedua anak tirinya habis-habis,an sebab menganggap mereka kurang didik sudah berani mencuri makanan. Walau kedua anak tirinya menjerit meminta ampun, namun ia tak memperdulikannya. Sesudah puas, si ibu tiri kemudian masuk ke dalam istana. Adapun kedua anak tirinya tetap berada di atas Batu Amparan Gading. Badan mereka terasa sakit. Akhirnya mereka berdua tertidur nyenyak di situ.

Batu Amparan Gading Meninggi

Beberapa ketika kemudian, kakaknya terbangun dari tidur. Ingat akan kekejaman ibu tirinya, air matanya kembali meleleh ke pipi sambil memandangi adiknya yg masih tertidur nyenyak. Sedih hatinya mengenang nasib malangnya. Ingin rasanya ia pergi menjauh dari istana, tetapi tidak berdaya. Ia hanya berharap semoga penderitaannya sanggup segera berakhir. Dengan air mata berlinang ia meratap murung sambil mengucapkan sebuah puisi:

Entak-entak bumbung seruas

Meninggilah Batu Amparan Gading

Mak dan Bapak jelek makan

Kami hendak pulang ke pintu langit

Puar nasi disangka nasi

Bunga dadap disangka udang

Sisik bengkarung disangka ikan

Kami dituduh maling makan







Atas izin Yang Maha Kuasa, Batu Amparan Gading yg didudukinya tiba-tiba meninggi. Merasa heran dicobanya lagi mengucapkan puisi tadi. Batu Amparan Gading pun bertambah tinggi. Selanjutnya ia pun mengucapkan puisi tersebut berulang-ulang. Setiap diucapkannya, Batu Amparan Gading pun semakin tinggi.

Sementara, Sang Raja muda sudah kembali dari perjalanan. Ia sangat terkejut bercampur heran, ketika dilihatnya Batu Amparan Gading di hacukup laman istana sudah menjadi tinggi. Lebih tinggi dari puncak bubungan istana. Sang Raja bertambah heranan ketika melihat kedua anaknya berada di atas kerikil amparan gading.

Sang Raja merasa sangat cemas bila anaknya terjatuh dari tempat setinggi itu. Ia segera memukul kentongan untuk memanggil semua orang yg ada di istana untuk meminta pertolongan.

Orang-orang di istana segera berdatangan mendekat. Mereka segera berbisnis menawarkan santunan untuk menurunkan kedua anak Sang Raja. Ada yg mencoba menghancurkan potongan pangkal kerikil amparan gading memakai aneka macam pemukul. Ada yg mencoba mendorong kerikil tersebut untuk merobohkannya. Ada pula yg berbisnis memanjatnya. Akan tetapi, semua bisnis mereka nampaknya sia-sia belaka. Batu Amparan Gading tetap berdiri kokoh. Batu Amparan Gading terus semakin tinggi. Akhirnya mereka semua menyerah. Mereka menghentikan bisnisnya untuk merobohkan kerikil amparan gading. Mereka pasrah menyaksikan Batu Amparan Gading yg semakin meninggi.

Kedua Anak Raja Masuk Ke Langit

Sang Raja hanya bisa duduk terpekur tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong kedua anaknya. Terlintas dalam benaknya, kesalahan apakah gerangan yg sudah dilsayakannya sehingga ia harus mendapatkan cobaan ini. Adapun kedua anaknya sudah tidak terlihat sebab semakin meninggi.

Akhirnya kedua anak raja hingga ke pintu langit. Ketika mereka berdua tiba, pintu langit sedang tertutup. Dengan susah payah mereka mencoba membukanya, tetapi tidak bis,a. Namun kebetulan, pada ketika itu seekor burung garuda lewat di depan mereka. Kedua anak raja meminta santunan burung garuda dengan menawarkan imbalan berupa sebumbung melukut. Burung garuda menyggupi ajakan mereka.

Burung Garuda mematukkan paruh tajamnya ke pintu langit. Pintu langit pun terbuka. Kedua abang beradik itu pribadi melangkah masuk ke langit. Suasana di langit nampak sangat indah dan tentram. Sesudah keduanya masuk ke dalam langit, dengan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa pula, Batu Amparan Gading kembali merendah menyerupai semula. Tinggallah di istana kerajaan ayahanda mereka, Sang Raja Muda bersama istri mudanya, dan Batu Amparan Gading sebagai saksi bisu perangai jelek istrinya.

Referensi:
  1. Prahana, Naim Emel. 1988. Dari Bengkulu 2, Jakarta: Grasindo
  2. Agni, Danu. 2013. Cerita Anak Seribu Pulau.Yogyakarta: Buku Pintar.
  3. Komandoko, Gamal. 2013. Koleksi Terbaik 100 plus Dongeng Rakyat Nusantara, PT.Buku Seru.
Jika anda menyukai kisah rakyat ini, silahkan bagikan melalui e-mail, media umum atau melalui situs web lainnya. Jangan lupa untuk menyertakan link balik ke caritasato.blogspot.com. Silahkan baca juga cerita rakyat Bengkulu lainnya:
  1. Ular Ndaung Dan Si Bungsu
  2. Ular Kepala Tujuh
  3. Keramat Riak
  4. Asal Usul Pagar Dewa
  5. Bunda Sejati
  6. Putri Gading Cempaka
  7. Batu Amparan Gading 
  8. Batu Kuyung
  9. Bujang Awang Tabuang
  10. Asal Mula Nama Bengkulu
  11. Putri Serindang Bulan

Subscribe to receive free email updates: